Enjoy Reading

Kamis, 31 Maret 2011

Berbekal peta “Gementee Soerabaja” terbitan Boekhandel en Drukkerij 1940, saya menyusuri Oedjoeng. Sebuah daerah bantaran muara Kali Mas Surabaya yang dipenuhi gudang-gudang renta.
Pagi itu sebuah kapal roll on - roll off , atau lebih dikenal dengan istilah Ro-Ro, tengah mengangkat sauhnya dari dermaga bersiap menuju Madura. Langkah kaki saya berhenti di Rotterdam-Kade memandangi kantor pelabuhan yang sekaligus berfungsi sebagai menara suar. Saya kagum, bangunan ini turut menyaksikan Pertempuran Laut Jawa. Lamunan saya pun mengembara ke enam puluh sembilan tahun lalu.
Laut Jawa memiliki kisahnya sendiri. Sebelum perang dunia berakhir telah tercatat tiga invasi militer terbesar dalam sejarah yang melintasi Laut Jawa. Tak hanya dari sisi besaran armada, invasi tersebut juga berdampak merubah tatanan dan sejarah Tanah Jawa.
Kisah pertama tentang Laut Jawa mungkin masih kita ingat ketika invasi militer Jepang 1942 dalam perintah Laksamana Takagi Takeo. Setelah serangan ke Filipina, Tarakan, dan Selat Makassar, militer Jepang menghadapi serangan penentuan di Laut Jawa pada 27-28 Februari 1942 yang dikenal dengan “Pertempuran Laut Jawa”. Alhasil, dalam pertempuran dengan kekuatan tak sebanding itu militer Jepang tidak mengalami kesulitan berarti dan mendarat dengan mudah di pantai Kragan, dekat Rembang 1 Maret 1942. Kampanye berikutnya, Jepang mampu meruntuhkan emperium Hindia Belanda yang dibangun ratusan tahun hanya dalam waktu delapan hari!
Invasi militer Tentara Kerajaan Inggris di bawah komando Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty pada 1811 menjadi kisah legenda berikutnya. Misi utama Inggris adalah menghilangkan otoritas pengaruh Perancis di Lautan Timur yang mencakup wilayah Asia Pasifik. Setidaknya 100 kapal yang mengangkut 12.000 orang! Jumlah yang tiada banding hingga Perang Dunia Kedua. Mereka berhasil merapat dan memulai invasi militer mereka dari Cilincing. Hasilnya, Inggris secara resmi menduduki Jawa pada 1812-1816. Untuk alasan ini, Gubernur Jenderal Lord Minto mempromosikan Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa, menetap di Buitenzorg, kini Bogor.
Jauh sebelum pasukan Auchmuty menjejakkan kakinya di Jawa, invasi militer Kubilai Khan telah merambah pedalaman Jawa. Khan adalah seorang penguasa Mongol terkemuka abad ke-13, pendiri Dinasti Yuan. Armada cucu Genghis Khan itu mendarat di pantai Rembang 1293. Invasi mereka telah berdampak secara tidak langsung terhadap tahta baru Kerajaan Majapahit. Kelak kerajaan ini akan menurunkan raja-raja Jawa yang juga akan mengubah sejarah di Tanah Jawa.
Photobucket
Monumen Karel Doorman di Ereveld Kembang Kuning - Surabaya
Terdapat tiga plat tembaga yang menampilkan Kapal De Zeven Provincien dalam pertempuran di Pantai Timur Inggris di bawah komando Michiels Adriaanszoon de Ruyter abad ke-17, plat kedua menampilkan profil Karel Doorman dengan semboyannya yang melegenda “”Aku serang sekarang, semua ikuti aku”, kemudian plat terakhir menampilkan Kapal Perang De Ruyter yang dikomandoi Karel Doorman dan tenggelam di Pertempuran Laut Jawa.
Photobucket
Para Korban Pertempuran Laut Jawa
Di balik Monumen Karel Doorman terdapat nama-nama korban Pertempuran Laut Jawa enam puluh sembilan tahun silam.
Dari ketiga ekspedisi militer yang melintasi Laut Jawa, menurut saya Pertempuran Laut Jawa-lah yang memiliki cakupan serangan luas, hampir seribu orang kehilangan hidup mereka di pertempuran dua malam yang dimenangkan oleh Jepang itu. Untuk mengenang mereka yang binasa saat penentuan nasib terakhir Hindia Belanda di Laut Jawa, Kerajaan Belanda mendirikan sebuah monumen di Ereveld Kembang Kuning Surabaya, sebuah taman makam kehormatan bagi korban perang yang dikelola Oorlogsgravenstichting. Monumen yang diresmikan pada 7 Mei 1954 itu mengabadikan nama seorang Laksamana Muda yang turut melegenda di Pertempuran Laut Jawa, Karel Doorman.
Suara peluit kapal menyadarkan saya dari lamunan tentang kejadian silam di Laut Jawa yang melegenda. Saya bangkit dari tepi Rotterdam-Kade dan bergegas meninggalkan Oedjoeng yang semakin bising dengan para penumpang yang mengantri penyeberangan berikutnya.

Sumber : http://heritage.blog.nationalgeographic.co.id/2011/03/16/melegendanya-laut-jawa/
Nama : MOCHAMAD ZACKY MERDI
NPM : 19110510
Kelas : 1KA31

DAPATKAH Anda merasakan bahwa belakangan ini di Indonesia—bahkan mungkin di seluruh dunia—sedang terjadi pertumbuhan jumlah pengguna sepeda? Saya dapat. Setidaknya orang-orang terdekat dalam lingkungan pekerjaan dan sekitar rumah saya begitu menggandrungi sepeda dan secara rutin melakukan perjalanan bersepeda.
Meski belum ada data resmi soal jumlah pengguna sepeda reguler di Tanah Air, fenomena yang terjadi setidaknya 2-3 tahun terakhir menunjukkan booming sepeda.
Surat kabar terbesar Indonesia, Kompas, juga memotret momentum ini dan menjadikannya tema utama ulang tahun mereka yang ke-45 tahun lalu. Kelompok Kompas-Gramedia bahkan memiliki klub bersepeda beranggotakan lebih dari seratus orang, dan cukup aktif menyelenggarakan acara bersepeda.
Data Earth Policy Institute menyebut, produksi sepeda dunia sebesar 94 juta per tahun dalam kurun 1990-2002 telah meningkat menjadi 130 juta pada 2007, melampaui produksi mobil yang sebesar 70 juta. Di beberapa negara, pertumbuhan jumlah penjualan ini dibantu oleh anjuran pemerintahnya—disertai insentif menarik—untuk menggunakan sepeda. Contohnya, pada 2009 pemerintah Italia mulai meluncurkan serangkaian program insentif untuk mendorong pembelian sepeda untuk memperbaiki kualitas udara perkotaan dan mengurangi jumlah mobil di jalan, dengan memberikan potongan 30 persen dari setiap harga sepeda.
China juga menunjukkan peningkatan volume sepeda. Pada 2007, jumlahnya mencapai 90 juta, tetapi kini menyentuh 430 juta, meski tingkat kepemilikan rata-rata masih lebih tinggi di Eropa. Di Belanda, satu orang punya lebih dari satu sepeda, dan sebanyak 27 persen dari seluruh perjalanan menggunakan sepeda. Sementara Denmark dan Jerman mendekati satu sepeda per orang, dengan persentase perjalanan sepeda 18 persen (Denmark) dan 10 persen (Jerman).
Capaian-capaian tersebut tentu saja memiliki sebab-sebab. Belanda, Denmark, dan Jerman sebelumnya telah menyiapkan infrastruktur yang bersahabat terhadap para pesepeda: parkir khusus sepeda, integrasi penuh dengan transportasi umum, edukasi lalu lintas yang komprehensif dan pelatihan bagi pesepeda. Di sisi lain, hal ini pula yang membuat negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Inggris memiliki tingkat pengguna sepeda yang rendah: karena minimnya “grand design” dan kebijakan untuk itu, meski mereka sepertinya juga sedang menuju ke sana.
Sebagai sebuah moda transportasi personal, sepeda memang cukup ideal. Apa lagi jika dikaitkan dengan isu lingkungan dan kesehatan. Bersepeda bisa memperbaiki sistem pernapasan, menurunkan polusi udara, mereduksi obesitas, meningkatkan kebugaran fisik. Sepeda juga tidak—secara langsung—mengemisikan karbon dioksida. Saya tulis “secara langsung” karena saya yakin sebenarnya pada tingkat tertentu proses produksi satu buah sepeda pasti memiliki jejak karbon sendiri. Satu hal yang paling penting kenapa sepeda menjadi begitu populer: secara umum harganya terjangkau oleh jutaan orang yang tidak sanggup membeli mobil.
Mengingat bentuknya yang ringkas (dan kini juga menjamur sepeda lipat yang bisa dibuat lebih ringkas lagi), enam sepeda bisa termuat dalam lajur jalan yang digunakan oleh satu mobil. Belum lagi untuk parkir: satu spasi parkir untuk satu mobil bisa digunakan untuk memarkir 20 sepeda. Efisiensi sepeda dalam hal emisi karbon sebagai substituen mobil untuk perjalanan pendek adalah akar pangkat tiga dibandingkan emisi dari mobil.
Membandingkan efisiensi sepeda dengan mobil mungkin terkesan tidak “apple-to-apple“. Akan tetapi, tidak bisa tidak, jika ingin meninjaunya dari sisi upaya penekanan jumlah emisi karbon atau okupasi lahan publik, pembandingan ini mestilah dilakukan.
Dan seperti yang sudah saya singgung di atas, efisiensi sepeda bukan hanya berefek pada lingkungan, melainkan juga kesehatan. Sepeda sangat ideal untuk mengembalikan keseimbangan asupan kalori dan pengeluaran rutin seseorang untuk biaya kesehatan: mengurangi penyakit-penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, arthritis, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Jika negara-negara Eropa (dan China) sudah menyiapkan infrastruktur yang memadai untuk menyambut ledakan sepeda—dan ledakan pertumbuhan ekonomi baru—bagaimana dengan Indonesia?
Kita masih perlu berpikir dan bekerja keras bahkan hanya untuk memperbaiki sarana umum yang paling dasar: jalur pejalan kaki. Hampir seluruh trotoar ibu kota (kecuali jalur protokol Sudirman-Thamrin) sudah diokupasi oleh pedagang dan…motor. Di sebuah jalan utama di Jakarta Barat, trotoar bahkan diratakan untuk menjadi bagian dari lahan parkir sebuah restoran besar, membuat pejalan kaki mesti berhati-hati jika melintas di situ, atau terkena risiko terserempet mobil.
Artinya, terlepas dari menjamurnya pengguna sepeda, pemangku kebijakan sepertinya tidak bisa terburu-buru memenuhi kebutuhan pesepeda sebelum kebutuhan paling hakiki dari jalan, yakni trotoar, dibenahi.
Hal lain yang juga menjadi perhatian saya adalah menjaga paradigma bahwa sepeda adalah moda pengganti kendaraan bermotor. Artinya, penggunaan sepeda idealnya bersifat substitutif, bukan sekadar adisional. Memang, tidak dapat dimungkiri, lanskap dan tata kota di Jakarta kerap memaksa orang memiliki rumah yang jauh dari tempat bekerja, sehingga amatlah berat (walau bukan tidak mungkin) jika orang yang tinggal di Bekasi, misalnya, mesti menggunakan sepeda sehari-hari ke kantor di Kebon Jeruk.
Risiko dari menganggap sepeda sebatas pada moda adisional membuat upaya pengurangan emisi karbon seperti sia-sia, karena pada kenyataannya mereka masih bergantung pada mobil atau motornya untuk perjalanan sehari-hari. Lebih buruk lagi, seperti fenomena yang kerap saya amati, jika sepeda hanya berfungsi sebagai bagian dari tren dan gaya hidup sehingga para pesepeda lebih sering disibukkan oleh gonta-ganti aksesoris dan memikirkan rencana jalan-jalan.
 
Sumber : http://areahijau.blog.nationalgeographic.co.id/2011/01/sepeda-di-mana-mana/

Nama : MOCHAMAD ZACKY MERDI
NPM : 19110510
Kelas : 1KA31
 
 


Baterai Tenaga Air?
Peneliti dari Stanford mengembangkan baterai isi ulang yang menggunakan air tawar dan air laut untuk menghasilkan listrik.
Baterai memanfaatkan perbedaan kadar garam yang ada pada air tawar dan air laut untuk menciptakan arus listrik. Baterai terbuat dari dua elektroda, positif dan negatif, terendam dalam cairan berisi ion bermuatan listrik. Di air, ion tersebut adalah sodium dan klorin, komponen yang biasa didapati dalam garam dapur.
Daya baterai diisi ketika air tawar berada di dalam baterai. Arus listrik kecil dialirkan agar daya terisi. Setelah pengisian selesai, air tawar diganti dengan air laut yang memiliki kandungan ion 60 hingga 100 kali lipat. Kandungan ion itu meningkatkan tegangan listrik antara kedua elektroda. Hal itu membuat listrik yang dihasilkan lebih banyak dari biasanya.
"Tegangan listrik tergantung pada jumlah sodium dan ion," kata Yi Cui yang memimpin studi. Ia menambahkan, "Ketika daya diisi dengan tegangan rendah di air tawar, Anda menghemat energi. Ketika Anda menggunakannya dengan air laut, Anda memperoleh energi yang lebih banyak."
Ketika daya pada baterai habis, air laut diganti lagi dengan air tawar untuk pengisian ulang.
Penggunaan air tawar dan air laut yang dilakukan Cui ini bukan pertama kali. Metode yang sama pernah dibuat. Bedanya, metode tersebut menggunakan membran untuk menyalurkan ion. "Membran itu rapuh. Itu kelemahannya. Lagipula, metoda itu hanya mampu dipakai dengan 1 tipe ion, sementara baterai menggunakan sodium dan klorin," Cui menjelaskan.
Cui juga menemukan satu kelemahan pada sistem buatannya. Baterai buatannya menggunakan perak, yang harganya tinggi, sebagai elektroda negatif. Bagi Cui, tantangan bagi timnya adalah menemukan pengganti perak.
Dengan temuan ini, Cui dan timnya melihat potensi muara sebagai lokasi pembangunan pembangkit listrik. Disebutkan oleh Cui, pembangkit listrik tidak akan berpengaruh pada siklus lingkungan. Air sungai hanya akan disalurkan ke laut lewat pembangkit listrik. "Kami hanya pinjam dan akan kami kembalikan," kata Cui.
Air yang digunakan tidak harus air bersih. "Air limbah pun dapat digunakan," kata Cui.
Menurut perhitungan peneliti, pembangkit listrik dengan 50 kubik air atawar per detik dapat menghasilkan 100 megawatt. Jumlah yang cukup untuk menyediakan listrik 100.000 rumah. (Sumber: Stanford University)

Sumber : lintasberita.com

Nama : MOCHAMAD ZACKY MERDI
NPM : 19110510
Kelas : 1KA31
Selagi menjadi mahasiswa, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menyalurkan bakat dan minat. Sebagian mahasiswa melakukannya dengan aktif mengikuti kegiatan kesenian sekaligus berpartisipasi melestarikan budaya bangsa.
Budaya tradisional harus dijaga. Sebagai generasi muda, wajib hukumnya menjaga warisan budaya bangsa. Apa lagi yang bisa kita lakukan melihat pengklaiman budaya bangsa oleh negeri lain, kalau bukan menjaganya? Dengan mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan bidang seni budaya, kita turut menjaga kelestariannya.
Mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Francisca Romana Mia, mengungkapkan, sejak semester pertama ia ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM) Karawitan.
”Berawal saat saya masih siswa SMP, melihat kakak-kakak di Muda Mudi Katolik (Mudika) menabuh gamelan di sebuah acara. Senang melihat mereka, saya jadi ingin belajar juga,” ungkap Mia.
Di kampus, Mia langsung mendaftar di UKM Karawitan USD dan belajar menabuh gamelan dari nol. ”Susah-susah gampang, apalagi alat gamelan di kampus jumlahnya terbatas, kami harus mengantre. Tak setiap latihan, kami bisa memegang alat,” katanya.
Di tempat Mia berlatih, ada dua set gamelan, gamelan laras slendro dan laras pelog. Mia dan teman-teman harus bisa memegang semua alat gamelan, seperti bonang, peking, dan dengung.
Tak ada darah seni di keluarga Mia, tapi dia tekun belajar karawitan di kampus. Mahasiswi semester enam ini sedang berlatih gamelan untuk acara wisuda di kampus.
”Biasanya kalau sedang dibuka pendaftaran untuk bergabung UKM Karawitan, banyak mahasiswa mendaftar, bisa sampai 200 orang. Tiba saat latihan, cuma sedikit yang datang. Apalagi kalau tahu tak bisa langsung memegang alat, mereka suka malas datang,” ceritanya.
Mahasiswa dilibatkan
Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Irene Mutiara, mengatakan, setiap tahun Pemerintah Kota Solo menggelar Solo Batik Carnival dan Solo International Performing Art. Pada dua acara itu banyak mahasiswa yang dilibatkan sebagai panitia pelaksana dan pengisi acara.
”Bergabung dalam dua acara itu juga bentuk apresiasi dan sumbangsih mahasiswa untuk melestarikan seni budaya bangsa. Tak bisa menari atau menabuh gamelan bukan lagi alasan untuk tidak peduli pada seni budaya daerah,” tandasnya.
Ada juga generasi muda yang melestarikan seni budaya dengan memilih belajar secara formal. Salah satunya mahasiswi Jurusan Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Patrisia Devitasari. Ia mengatakan, salah satu yang memotivasi dirinya memilih belajar Sastra Jawa karena banyak generasi muda yang memilih belajar budaya asing.
”Di Sastra Jawa, selain mempelajari bahasa dan aksara Jawa, saya juga belajar mengenal wayang, batik, dan bermain gamelan. Walau orang memandang itu kuno, tetapi buat saya itu keren. Jarang, lho, orang bisa membaca teks kuno beraksara Jawa,” katanya.
Menurut dia, untuk menghargai budaya sendiri tidak susah, cukup mempelajari salah satu budaya Indonesia dengan serius. ”Banyak orang yang sanksi terhadap masa depan mahasiswa yang belajar di jurusan astra daerah dibandingkan mahasiswa yang belajar di sastra lainnya. Buat saya, panggilan hati untuk mempelajari budaya sendiri lebih penting ketimbang masa depan atau pekerjaan. Saya merasa bertanggung jawab pada budaya sendiri,” ujarnya.
Menjadi pelatih
Cinta terhadap seni budaya Indonesia juga ditunjukkan Aryarangga Ramadhika, lulusan jurusan Administrasi Niaga, Universitas Atma Jaya, Jakarta. Meski sudah lulus, Arya tetap aktif di UKM Karawitan Jawi kampusnya.
Arya bergabung dengan UKM Karawitan sejak semester tiga, sekitar tahun 2004. ”Pelatih karawitan biasanya hadir hanya untuk mengajar senior dan saat ada acara di mana kami harus belajar lagu baru. Ini membuat kami belajar sesuatu yang baru, selain kami pun mesti bisa melatih anggota baru,” katanya.
Dengan cara seperti itu, di UKM Karawitan, anggotanya tak hanya belajar memainkan alat gamelan, tapi juga dikondisikan bisa melatih anggota baru dengan alat gamelan masing-masing. ”Misalnya, siapa anak bonang, nah dialah yang akan mengajarkan teman baru berlatih memainkan bonang,” ujarnya.
Seperti UKM lain yang sepi peminat, Arya mengungkapkan anggota UKM Karawitan juga datang dan pergi. ”Pasang surut anggota saat latihan menjadi kendala tersendiri, apalagi tempat latihan kami cukup mungil untuk satu set alat gamelan. Jadi, kami sadar ’hukum rimba’ pasti berlaku. Bagi yang benar-benar tertarik biasanya bertahan, tapi mahasiswa yang minatnya setengah-setengah akan ’hilang’ sendiri,” katanya.
Sebagai pelatih, Arya juga melakukan berbagai hal supaya suasana latihan menyenangkan. ”Untuk menghindari kejenuhan, kami merotasi anggota baru dalam memainkan alat. Jadi, suasana latihan tak monoton, anggota juga berkembang kemampuannya,” ungkap Arya.
Banyak pilihan
Sebenarnya, sebagian kampus di Tanah Air telah menyediakan banyak pilihan kegiatan berkaitan dengan seni budaya yang bisa diikuti mahasiswa. Misalnya, Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti di Jakarta yang menawarkan dua kegiatan kesenian seperti tari tradisional dan kolintang.
Universitas Indonesia juga memiliki UKM Tari. Di sini mahasiswa bisa belajar tari-tarian dari sejumlah daerah, mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam, seperti tari saman, sampai tari-tarian dari Sumatera Barat dan Bali.
Institut Teknologi Bandung juga mempunyai berbagai kegiatan dalam wadah UKM Kesenian. Mahasiswa bisa belajar mulai dari kesenian Sunda sampai kesenian Minangkabau. Sementara Universitas Padjajaran, Bandung, antara lain mempunyai kelompok degung Sunda.
   Ketika fasilitas yang berkaitan dengan seni budaya bangsa sudah tersedia di kampus, sesungguhnya tidak ada lagi alasan bagi generasi muda untuk tak memedulikannya. Tinggal kesadaran mahasiswa untuk menjaga dan turut aktif melestarikan seni budaya bangsa.
Banyak cara bisa kita tempuh, mulai dari belajar aktif menari lalu menyebarluaskannya, sampai mempelajari dan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari. Di sini kemauan kuat dan kesungguhan mahasiswa sebagai generasi muda benar-benar diutamakan.
Untuk merawat seni budaya bangsa, relatif tidak diperlukan modal materi yang besar. Kreativitas, kesungguhan, dan kesadaran bahwa seni budaya itu menjadi bagian dari jati diri kita menjadi modal utamanya.

Sumber : Kompas.com

Nama : MOCHAMAD ZACKY MERDI
NPM : 19110510
Kelas : 1KA31

Minggu, 13 Maret 2011

Pendidikan, Inti Pelestarian Warisan Budaya
           Sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman budaya yang sangat luas, Indonesia berkepentingan terhadap Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage) di tingkat internasional. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Intangible Cultural Heritage (ICH) melalui Peraturan Presiden No 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Di tingkat nasional, kepentingan melindungi WBTB tadi sungguh besar mengingat nilai-nilai budaya barat begitu memborgol masyarakat kita. Bicara soal perlindungan WBTB, demikian menurut Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Basuki Antariksa, tentu sangat tak menarik karena bicara perlindungan WBTB artinya bicara cost alias pengeluaran uang dan tak kecil, pula.

"Jika kebudayaan dinilai dari aspek ekonomi tentu potensi terbesar akan berasal dari Warisan Budaya Benda (Tangible Cultural Heritage) seperti candi atau benda purbakala lainnya. Banyak orang lupa, Intangible Heritage, dapat memberi kontribusi tak langsung yaitu membentuk mental bangsa," paparnya dalam "Simposium dan Workshop Mengenai Inventarisasi dalam Rangka Perlindungan WBTB" di Hotel Alila, Pecenongan, Jakpus.
Basuki menambahkan, tugas pelestarian WBTB adalah tugas berat karena harus ditujukan untuk menjamin keberlangsungan dan perkembangannya secara mandiri melalui media pendidikan formal dan non-formal.
Sebagai informasi, UNESCO mendefinisikan WBTB sebagai "segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, ketrampilan - serta instrumen, obyek, artefak, dan lingkungan budaya yang terkait - yang oleh masyarakat, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu, perorangan yang diakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Konvensi ICH menyatakan, WBTB diwujudkan antara lain dalam bidang tradisi dan ekspresi lisan termasuk bahasa; seni pertunjukan; adat istiadat, ritus, dan perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku; dan kemahiran kerajinan tradisional.

Sayangnya, dalam simposium yang seharusnya sangat lekat dengan bidang pendidikan, tak ada satupun wakil dari Departemen Pendidikan Nasional. Padahal, jelas-jelas disebutkan Basuki, upaya pelestarian WBTB tak bisa lepas dari proses pendidikan formal dan non-formal. Sesungguhnyalah, persoalan warisan budaya baik benda dan tak benda adalah persoalan pendidikan. Bukan hanya membentuk karakter dan mental tapi juga untuk menginformasikan kepada masyarakat hingga ke pelosok bahwa apa yang selama ini mereka jalankan sebagai ritual, kebiasaan, cara pandang, kemampuan membuat kerajinan atau mencampur bumbu sehingga membentuk rasa yang unik adalah warisan yang harus dilestarikan.
Budaya Sunda Jangan Sampai Tinggal Dongeng
Kesenian Sunda. “Konon di Jabar ada sekitar 300 kesenian, tapi sekarang hanya ada sekitar 30 kesenian. Pertanyaannya adalah ke mana yang 270 lainnya itu?”
Kekhawatiran dan semangat untuk menghidupkan kembali budaya sunda tampaknya mendasari diselenggarakannya seminar internasional yang bertemakan tentang “Reformulasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda” pada 9-10 Februari 2011 lalu. Di dalam seminar tersebut Prof Dadang mengatakan, “Tampaknya kalau bahasa Sunda sering ditampilkan di wilayah akademik, orang bisa semakin lacar berbahasa Sunda dan kemudian kesundaan bisa mendunia.”
Perlu dicatat, semua sambutan dalam seminar tersebut disampaikan dalam bahasa Sunda. Begitu pula dengan abstrak pemateri yang nantinya akan menyajikan materi mereka, semua ditulis dalam bahasa Sunda. Prof. Dadang sendiri menyoroti tentang wacana pengesahan undang-undang kebudayaan yang sudah mulai dirancang 2001 silam, dalam kaitannya dengan kebudayaan Sunda. Menurutnya, pengesahan UU kebudayaan jika memang akan terjadi, perlu disikapi dengan cermat. Di satu sisi itu wujud perhatian pada kebudayaan. “Jika ada aturannya, maka berbagai bentuk pelanggaran biasanya dikenai sanksi demi keberlangsungan budaya,” sebutnya.
Namun di lain pihak, ia mengatakan bahwa perlu diwaspadai agar pengaturan kebudayaan kelak tidak akan membuat independensi perkembangan budaya hilang sama sekali. Lalu jika memang UU Kebudayaan akan disahkan, tentu perlu dirumuskan pula variabel-variabel yang ada dalam kebudayaan. Atas dasar ini pula perlu dirumuskan ciri-ciri yang bisa mereflesikan orang Sunda dan kebudayaan Sunda secara umum.
Selain Prof. Dadang, hadir pula Prof. Dr. Bambang Purwanto dan Dr. Sarah Anais Andries sebagai pembicara utama dalam seminar Rabu ini. Prof. Bambang berbicara tentang visual masa lalu dan tradisi histografis di tatar Sunda. Sementara itu, Dr. Sarah berbicara tentang nilai-nilai wayang golek purwa Sunda.
Setelah pemaparan materi dari para pemateri utama, acara dilanjutkan dengan presentasi dari para pemakalah yang tersebar di 4 kelas paralel di PSBJ dan Ruang Sidang Pasca Sarjana Fasa Unpad. Sore ini, seminar ditutup dengan penyampaian materi dari tiga orang pembicara utama lainnya, yakni Prof. Dr. Hj. Nina H. Lubis, Prof. Dr. Setiawan Sabana, dan Prof. Madya. Dr. Rahim bin Aman.
Gelar Budaya Sunda
Masih di lingkungan Fasa Unpad dimana tempat di selenggarakannya Gelar Budaya Sunda. Para pengunjung bisa menikmati sajian menarik dari kesenian tradisi Sunda. Materi kesenian yang ditampilkan adalah Seni Buhun Pakidulan Tasikmalaya bagian selatan dan seni bambu kontemporer.
Di antara seni buhun yang dipertontonkan adalah aseuk hatong, calung renteng, rengkong, tutunggulan, dan kunclung. Semua kesenian tersebut awalnya berasal dari tradisi bercocok tanam. Maka tak heran jika dalam pertunjukkan budaya sunda itu dengan iringan musik tradisional, terdapat sejumlah pria yang memanggul padi, menirukan gerakan melubangi tanah, dan ibu-ibu memukul-mukul halu, dan seterusnya.
Sumber : Kompas dan Data Pribadi.

Nama : Mochamad Zacky Merdi
NPM : 19110510
Kelas : 1KA31