Enjoy Reading

Minggu, 13 Maret 2011

Pendidikan, Inti Pelestarian Warisan Budaya
           Sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman budaya yang sangat luas, Indonesia berkepentingan terhadap Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage) di tingkat internasional. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Intangible Cultural Heritage (ICH) melalui Peraturan Presiden No 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Di tingkat nasional, kepentingan melindungi WBTB tadi sungguh besar mengingat nilai-nilai budaya barat begitu memborgol masyarakat kita. Bicara soal perlindungan WBTB, demikian menurut Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Basuki Antariksa, tentu sangat tak menarik karena bicara perlindungan WBTB artinya bicara cost alias pengeluaran uang dan tak kecil, pula.

"Jika kebudayaan dinilai dari aspek ekonomi tentu potensi terbesar akan berasal dari Warisan Budaya Benda (Tangible Cultural Heritage) seperti candi atau benda purbakala lainnya. Banyak orang lupa, Intangible Heritage, dapat memberi kontribusi tak langsung yaitu membentuk mental bangsa," paparnya dalam "Simposium dan Workshop Mengenai Inventarisasi dalam Rangka Perlindungan WBTB" di Hotel Alila, Pecenongan, Jakpus.
Basuki menambahkan, tugas pelestarian WBTB adalah tugas berat karena harus ditujukan untuk menjamin keberlangsungan dan perkembangannya secara mandiri melalui media pendidikan formal dan non-formal.
Sebagai informasi, UNESCO mendefinisikan WBTB sebagai "segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, ketrampilan - serta instrumen, obyek, artefak, dan lingkungan budaya yang terkait - yang oleh masyarakat, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu, perorangan yang diakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Konvensi ICH menyatakan, WBTB diwujudkan antara lain dalam bidang tradisi dan ekspresi lisan termasuk bahasa; seni pertunjukan; adat istiadat, ritus, dan perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku; dan kemahiran kerajinan tradisional.

Sayangnya, dalam simposium yang seharusnya sangat lekat dengan bidang pendidikan, tak ada satupun wakil dari Departemen Pendidikan Nasional. Padahal, jelas-jelas disebutkan Basuki, upaya pelestarian WBTB tak bisa lepas dari proses pendidikan formal dan non-formal. Sesungguhnyalah, persoalan warisan budaya baik benda dan tak benda adalah persoalan pendidikan. Bukan hanya membentuk karakter dan mental tapi juga untuk menginformasikan kepada masyarakat hingga ke pelosok bahwa apa yang selama ini mereka jalankan sebagai ritual, kebiasaan, cara pandang, kemampuan membuat kerajinan atau mencampur bumbu sehingga membentuk rasa yang unik adalah warisan yang harus dilestarikan.
Budaya Sunda Jangan Sampai Tinggal Dongeng
Kesenian Sunda. “Konon di Jabar ada sekitar 300 kesenian, tapi sekarang hanya ada sekitar 30 kesenian. Pertanyaannya adalah ke mana yang 270 lainnya itu?”
Kekhawatiran dan semangat untuk menghidupkan kembali budaya sunda tampaknya mendasari diselenggarakannya seminar internasional yang bertemakan tentang “Reformulasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda” pada 9-10 Februari 2011 lalu. Di dalam seminar tersebut Prof Dadang mengatakan, “Tampaknya kalau bahasa Sunda sering ditampilkan di wilayah akademik, orang bisa semakin lacar berbahasa Sunda dan kemudian kesundaan bisa mendunia.”
Perlu dicatat, semua sambutan dalam seminar tersebut disampaikan dalam bahasa Sunda. Begitu pula dengan abstrak pemateri yang nantinya akan menyajikan materi mereka, semua ditulis dalam bahasa Sunda. Prof. Dadang sendiri menyoroti tentang wacana pengesahan undang-undang kebudayaan yang sudah mulai dirancang 2001 silam, dalam kaitannya dengan kebudayaan Sunda. Menurutnya, pengesahan UU kebudayaan jika memang akan terjadi, perlu disikapi dengan cermat. Di satu sisi itu wujud perhatian pada kebudayaan. “Jika ada aturannya, maka berbagai bentuk pelanggaran biasanya dikenai sanksi demi keberlangsungan budaya,” sebutnya.
Namun di lain pihak, ia mengatakan bahwa perlu diwaspadai agar pengaturan kebudayaan kelak tidak akan membuat independensi perkembangan budaya hilang sama sekali. Lalu jika memang UU Kebudayaan akan disahkan, tentu perlu dirumuskan pula variabel-variabel yang ada dalam kebudayaan. Atas dasar ini pula perlu dirumuskan ciri-ciri yang bisa mereflesikan orang Sunda dan kebudayaan Sunda secara umum.
Selain Prof. Dadang, hadir pula Prof. Dr. Bambang Purwanto dan Dr. Sarah Anais Andries sebagai pembicara utama dalam seminar Rabu ini. Prof. Bambang berbicara tentang visual masa lalu dan tradisi histografis di tatar Sunda. Sementara itu, Dr. Sarah berbicara tentang nilai-nilai wayang golek purwa Sunda.
Setelah pemaparan materi dari para pemateri utama, acara dilanjutkan dengan presentasi dari para pemakalah yang tersebar di 4 kelas paralel di PSBJ dan Ruang Sidang Pasca Sarjana Fasa Unpad. Sore ini, seminar ditutup dengan penyampaian materi dari tiga orang pembicara utama lainnya, yakni Prof. Dr. Hj. Nina H. Lubis, Prof. Dr. Setiawan Sabana, dan Prof. Madya. Dr. Rahim bin Aman.
Gelar Budaya Sunda
Masih di lingkungan Fasa Unpad dimana tempat di selenggarakannya Gelar Budaya Sunda. Para pengunjung bisa menikmati sajian menarik dari kesenian tradisi Sunda. Materi kesenian yang ditampilkan adalah Seni Buhun Pakidulan Tasikmalaya bagian selatan dan seni bambu kontemporer.
Di antara seni buhun yang dipertontonkan adalah aseuk hatong, calung renteng, rengkong, tutunggulan, dan kunclung. Semua kesenian tersebut awalnya berasal dari tradisi bercocok tanam. Maka tak heran jika dalam pertunjukkan budaya sunda itu dengan iringan musik tradisional, terdapat sejumlah pria yang memanggul padi, menirukan gerakan melubangi tanah, dan ibu-ibu memukul-mukul halu, dan seterusnya.
Sumber : Kompas dan Data Pribadi.

Nama : Mochamad Zacky Merdi
NPM : 19110510
Kelas : 1KA31
Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 komentar:

Posting Komentar