Beragam Tantangan Pembangunan
Dua pria bekerja di tempat usaha pemrosesan emas rakyat di Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, pekan lalu. Tempat ini menerima batu dari penambang rakyat. Batu lantas dihancurkan hingga menjadi pasir dengan menggunakan teromol yang diputar memanfaatkan mesin diesel.
Ratusan tahun lalu, Portugis dan Spanyol berjuang mati-matian untuk menemukan asal-muasal rempah-rempah yang begitu mahal harganya di pasar Eropa. Perang dan ekspedisi berat yang menelan cukup banyak korban jiwa harus mereka lalui.
Namun, mimpi akan keuntungan besar jika berhasil memonopoli rempah-rempah, yang merupakan bahan baku pewangi, obat, dan sebagainya, membuat bangsa Eropa tidak kenal menyerah.
Setelah menguasai Gujarat (India) dan Semenanjung Malaka, Portugis akhirnya sampai di Ternate, sumber utama komoditas rempah-rempah cengkeh dan pala, pada 1512. Sejak itu, bangsa-bangsa Eropa lainnya berlomba-lomba menancapkan kuku di wilayah Maluku Utara. Tujuan mereka hanya satu, menguasai sepenuhnya produksi rempah-rempah Maluku Utara yang sangat tinggi nilainya.
Zaman terus berubah. Pada era modern, rempah-rempah sudah bukan lagi komoditas utama dunia yang menjadi rebutan negeri-negeri raksasa. Sumber konflik politik dunia kini beralih ke sumber energi. Bangsa-bangsa di dunia sekarang berebut menguasai sebanyak mungkin wilayah yang memiliki cadangan sumber energi (minyak, gas bumi, dan batu bara) besar.
Meski demikian, sampai sekarang pala dan cengkeh tetap menjadi andalan kebanyakan penduduk Maluku Utara untuk mendulang penghasilan. Mereka tetap hidup dari komoditas itu, yang dahulu memasyhurkan wilayah mereka hingga ke seluruh penjuru dunia.
Komoditas lain yang menjadi andalan kebanyakan penduduk Maluku Utara adalah kelapa. Kondisi ini ditandai, antara lain, dengan banyaknya pohon kelapa yang berjajar di ruas jalan Sofifi-Tobelo, Halmahera Utara. Kelapa diolah oleh masyarakat menjadi kopra untuk kemudian dijual ke luar daerah.
Daya beli
Namun, menurut dosen dan peneliti dari Universitas Khairun, Ternate, Mukhtar Adam, ada persoalan besar yang berkaitan dengan komoditas andalan penduduk Maluku Utara tersebut. Harga pala dan cengkeh kini turun, sedangkan kelapa menghadapi persaingan dari kelapa sawit. ”Pasar sekarang lebih memilih kelapa sawit ketimbang kelapa biasa. Maluku Utara tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak mempunyai kelapa sawit,” kata Mukhtar.
Dari sejumlah penelitian yang dia lakukan, menurut Mukhtar, daya beli masyarakat Maluku Utara memperlihatkan kecenderungan menurun. Situasi ini dia nilai berkorelasi dengan kondisi pasar yang melingkupi komoditas andalan penduduk Maluku Utara.
Masalah yang mendera sektor perkebunan Maluku Utara bukan itu saja. Ada masalah lain yang lebih pelik, yakni usia tanaman perkebunan yang tua.
Tanaman cengkeh dan kelapa, misalnya, kebanyakan berusia di atas 35 tahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa hampir tidak terjadi peremajaan tanaman perkebunan di Maluku Utara. ”Lihat saja pohon-pohon kelapa di sepanjang jalan menuju Tobelo. Pohonnya menjulang tinggi sekali. Ini, kan, tanaman kelapa tua,” tuturnya.
Ketiadaan peremajaan menunjukkan generasi sekarang hanya menjadi penikmat waris dari tanaman perkebunan yang ditanam oleh pendahulu mereka pada masa silam. Situasi ini tidak pelak merupakan isyarat mengkhawatirkan terhadap keberlangsungan kultur perkebunan di Maluku Utara.
Tantangan ekonomi lainnya yang dihadapi Maluku Utara adalah ketergantungan wilayah ini terhadap pasokan produk tanaman pangan dari luar daerah. Sayur-mayur dan beras didatangkan dari Bitung, Sulawesi Utara, dan Makassar, Sulawesi Selatan. Masyarakat Maluku Utara, dinilai Mukhtar, sulit beralih ke kultur tanaman pangan karena mengurus tanaman pangan menuntut ketelatenan yang lebih besar ketimbang mengurus tanaman perkebunan.
”Masyarakat Maluku Utara kurang telaten. Lebih mudah mengurus tanaman perkebunan seperti kelapa. Tanam bibitnya dan tinggal tunggu saja hingga menghasilkan buah. Produksi bisa terus berlangsung selama usia tanaman,” ujar Mukhtar.
Sebenarnya ada tiga daerah penghasil beras dan tanaman pangan di Maluku Utara. Semuanya adalah daerah transmigrasi di Pulau Halmahera. Sayangnya, produksi dari daerah ini sulit untuk mencapai daerah-daerah lain di seantero Maluku Utara karena minimnya infrastruktur transportasi. Akibatnya, mendatangkan beras dari Makassar atau sayur-mayur dari Bitung menjadi lebih murah.
Dari sisi sosial, tokoh masyarakat Maluku Utara, Muhammad Yusuf Abdulrahman, melihat bahwa pembangunan daerah-daerah di Maluku Utara memiliki tantangan terbesar yang berasal dari rakyatnya sendiri. Anggota Badan Pekerja MPRS 1966-1971 dan pendiri Universitas Khairun ini menilai rakyat Maluku Utara kebanyakan terbuai oleh kemurahan alam di wilayah mereka.
Selama berabad-abad, kebanyakan warga merasakan bahwa tanpa perlu bekerja keras, mereka tetap bisa makan dengan cukup enak dan kenyang. ”Alam begitu baik. Apa saja bisa mereka peroleh dari kebun,” ujar Yusuf.
Pendatang
Tidak mengherankan, usaha perdagangan dan usaha wiraswasta lainnya di Maluku Utara banyak dilakukan oleh warga pendatang. Etnis China cukup banyak tinggal di Tobelo. Kehadiran mereka tidak bisa dimungkiri memberikan kontribusi cukup besar sehingga Tobelo menjadi kota penting di Maluku Utara, selain Kota Ternate.
Di Ternate, peranan warga pendatang juga besar dalam mendorong perekonomian wilayah tersebut dan wilayah Maluku Utara secara umum. Di pinggir pantai, tidak jauh dari Masjid Agung Al Munawwar, kompleks jajanan yang terdiri dari warung-warung makanan bertenda dimiliki semuanya oleh orang-orang dari Pulau Jawa. Mereka berjualan tahu goreng, ikan bakar, hingga sate kambing.
Kaum pendatang juga merambah usaha pemrosesan emas rakyat di daerah Waringin, Halmahera Utara. Tempat-tempat ini mengolah batu yang disetor oleh penambang. Batu diambil dari sekitar wilayah kerja perusahaan tambang raksasa, PT Nusa Halmahera Minerals.
Samana, misalnya, warga keturunan Bugis, membuka tempat pemrosesan selama tiga tahun terakhir. Bersama dua pekerjanya, ia tinggal di sebuah bangunan kayu di area pemrosesan. Selain mengusahakan tempat pemrosesan, banyak pendatang yang juga bekerja sebagai penambang.
Konflik dengan warga pendatang, menurut Jusuf Sunya, Ketua Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Kota Ternate, tidak pernah terjadi. Penduduk asli Maluku Utara dan pendatang sama-sama melihat bahwa di antara mereka tercipta hubungan yang saling menguntungkan secara ekonomis.
Setelah berdiri sebagai provinsi sendiri sejak 1999, Maluku Utara bersama daerah-daerah di bawahnya kini menjadi aktor utama dalam pembangunan di wilayah mereka. Keberhasilan mengatasi persoalan yang menghadang dan kejelian memanfaatkan ”keunggulan sosial”, seperti sikap terbuka terhadap pendatang, akan menentukan wajah Maluku Utara pada masa depan.
NAMA : MOCHAMAD ZACKY MERDI
NPM : 19110510
NAMA : MOCHAMAD ZACKY MERDI
KELAS : 1KA31
NPM : 19110510
DOSEN : Asri Wulan
MATA KULIAH : Ilmu Sosial Dasar