Revolusi Transportasi untuk Rakyat
Meski tidak ada korban jiwa, anjloknya rangkaian Kereta Api Harina, Kamis (21/10) dini hari di Desa Mekargalih, Jatiluhur, Jawa Barat, tetap memilukan. Ya, memilukan!
Masih segar dalam ingatan khalayak ketika 36 penumpang KA Senja Utama jurusan Jakarta-Semarang tewas akibat kereta yang mereka tumpangi ditabrak oleh KA Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya pada 2 Oktober di Stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah. Kejadian itu hanya berselang beberapa menit setelah KA Bima menyerempet rangkaian KA Gaya Baru Malam di Stasiun Purwosari, Solo, Jawa Tengah. Seorang penumpang KA Gaya Baru Malam tewas dalam kejadian itu.
Ketika banyak negara yang juga memiliki riwayat panjang perkeretaapian, seperti Perancis, Jerman, dan Jepang, terus berkembang, bahkan negara-negara baru seperti China juga melaju dengan kereta-kereta berkecepatan tinggi, di Indonesia kisahnya sungguh berbeda. Selain dirundung persoalan layanan yang belum prima, jaminan keselamatan pun masih menjadi masalah serius.
Padahal, menurut pengamat perkeretaapian Moch Hendrowijono, kereta api adalah moda transportasi masa depan. Ia tidak hanya ramah lingkungan dan hemat bahan bakar, tetapi juga mampu membawa barang dan penumpang dalam jumlah banyak. Dari aspek ini, kereta api jelas sangat berbeda dibandingkan dengan moda transportasi darat lainnya, seperti bus atau truk.
Namun, sebagaimana diungkapkan Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Azis dalam satu seminar tentang transportasi, beberapa waktu lalu, volume kendaraan bermotor justru terus bertambah. Bus pariwisata, misalnya, jumlahnya naik 7,58 persen, sementara panjang jalan tidak banyak bertambah.
Langkah baru
Meskipun rekam jejak Indonesia di bidang perkeretaapian memang buruk, dengan pangsa pasar penumpang kereta hanya sekitar 6 persen dan kurang dari 1 persen untuk angkutan barang, moda ini sangat berpotensi untuk dikembangkan. China contohnya. Di negeri ”Tirai Bambu” itu, sekitar 60 persen barang dari sentra produksi menuju pelabuhan diangkut dengan kereta api. Demikian pula di India, tercatat 40 persen barang diangkut dengan kereta api. Dengan demikian, ada efisiensi logistik yang ikut andil menumbuhkan perekonomian negara setempat.
Potensi itulah yang, menurut Hendrowijono, layak dibidik oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI), apalagi selama ini terbukti bahwa keuntungan PT KAI sebagian besar dibukukan oleh angkutan barang seperti batu bara. Selain itu, tentu saja diperlukan upaya peningkatan pelayanan untuk angkutan penumpang.
Kamis kemarin, ketika rangkaian KA Harina terperosok, di belahan lain bumi diberitakan kereta api supercepat (320 kilometer per jam) ICE milik perusahaan Jerman, Deutsche Bahn, melaju sukses dari Perancis menuju Inggris.
Direktur Deutsche Bahn Ruediger Grube mengatakan, ”Kami yakin di masa mendatang perjalanan kereta api di Eropa menjadi permulaan sebuah zaman baru.”
Uni Eropa kini sedang mendorong efisiensi perjalanan di seantero Eropa. Dan, kereta api jadi pilihan utama sebagai sebuah perjalanan yang lebih mudah dan ramah lingkungan.
Jumat pekan lalu, Swiss pun mempertontonkan keberpihakannya pada kereta api, yakni ketika ratusan pekerja Terowongan Gotthard Base mensyukuri tembusnya terowongan kereta terpanjang di dunia (57 kilometer) itu. Ancaman kemacetan di masa depan, dan keinginan untuk melindungi ekologi Gunung Alpen, mendorong proyek itu dimulai 18 tahun silam.
November 2009, orang terkaya di dunia, Warren Buffett, juga menginvestasikan uang senilai 34 miliar dollar AS di sektor perkeretaapian. Buffett membeli saham Burlington Northern Santa Fe sebagai bentuk kepercayaan pada masa depan dunia perkeretaapian.
Kasus Indonesia
Meski berbagai tragedi menghantam, bukan berarti Indonesia harus patah arang. Direktur PT KAI Ignasius Jonan, Rabu di kantornya, menceritakan bagaimana Iran membangun sekitar 160 kilometer jalur mass rapid transit (MRT).
”Dengan dukungan kuat pemerintah, MRT di Iran selesai dalam tiga tahun saja. China Railway mengirim 2.000 tenaga kerja untuk bekerja siang malam,” kata Jonan. Tanpa banyak hiruk-pikuk dan perdebatan, MRT di Iran berhasil dioperasikan.
Setidaknya, Indonesia harus mampu berbuat serupa. Sebab, masa depan kita—masa depan sosial dan masa depan ekonomi—akan bergantung pada transportasi ini.
Keberpihakan negara maju, Eropa dan Amerika, kemudian ”macan” baru perekonomian seperti India dan China pada perkeretaapian dapat jadi contoh betapa pentingnya kereta api. Lagi pula, menambah jalan pun tak akan mampu menyelesaikan masalah. Penambahan jalan hanya mungkin untuk membuka kawasan, bukan untuk melayani wilayah padat seperti Jawa dan Sumatera.
Kemacetan di Jakarta seharusnya menyadarkan kita betapa buruknya menyerahkan transportasi kepada mekanisme pasar. Terlebih lagi ketika masyarakat terus dirangsang dengan kemudahan memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi.
Tom Vanderbilt dalam bukunya, Traffic (2008), pun membuat bab tersendiri berjudul ”Why More Road Lead To More Traffic”. Intinya, dia mengisahkan mengapa pembangunan jalan baru hanya akan menarik minat lebih banyak orang naik kendaraan pribadi. Setelah jalan dibangun, ruang yang tercipta hanya sekejap dinikmati, untuk kemudian macet lagi.
Oleh karena itu, mari kita beralih ke kereta api....
NAMA : MOCHAMAD ZACKY MERDI
KELAS : 1KA31
NPM : 19110510
DOSEN : Asri Wulan
MATA KULIAH : Ilmu Sosial Dasar
Sumber: Kompas
0 komentar:
Posting Komentar